Selasa, 28 April 2015

GOOD GOVERNENCE



I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh tatacara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat yang memburuk.
Masalah-masalah tersebut juga telah menghambat proses pemulihan ekonomi Indonesia, sehingga jumlah pengangguran semakin meningkat, jumlah penduduk miskin bertambah, tingkat kesehatan menurun, dan bahkan telah menyebabkan munculnya konflik-konflik di berbagai daerah yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia.
Bahkan kondisi saat inipun menunjukkan masih berlangsungnya praktek dan perilaku yang bertentangan dengan kaidah tata pemerintahan yang baik, yang bisa menghambat terlaksananya agenda-agenda reformasi.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagi pembuatan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Fenomena demokrasi ditandai dengan menguatnya kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan saling ketergantungan antarbangsa, terutama dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi dan aktivitas dunia usaha (bisnis).
Kedua perkembangan diatas, baik demokratisasi maupun globalisasi, menuntut redefinisi peran pelaku-pelaku penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah, yang sebelumnya memegang kuat kendali pemerintahan, cepat atau lambat harus mengalami pergeseran peran dari posisi yang serba mengatur dan mendikte ke posisi sebagai fasilitator. Dunia usaha dan pemilik modal, yang sebelumnya berupaya mengurangi otoritas negara yang dinilai cenderung menghambat perluasan aktivitas bisnis, harus mulai menyadari pentingnya regulasi yang melindungi kepentingan publik. Sebaliknya, masyarakat yang sebelumnya ditempatkan sebagai penerima manfaat (beneficiaries), harus mulai menyadari kedudukannya sebagai pemilik kepentingan yang juga harus berfungsi sebagai pelaku.
Oleh karena itu, tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan agar segala permasalahan yang timbul dapat segera dipecahkan dan juga proses pemulihan ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Disadari, mewujudkan tata pemerintahan yang baik membutuhkan waktu yang tidak singkat dan juga upaya yang terus menerus. Disamping itu, perlu juga dibangun kesepakatan serta rasa optimis yang tinggi dari seluruh komponen bangsa yang melibatkan tiga pilar berbangsa dan bernegara, yaitu para aparatur negara, pihak swasta dan masyarakat madani untuk menumbuhkembangkan rasa kebersamaan dalam rangka mencapai tata pemerintahan yang baik.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.         Apa pengertian dan latar belakang good governance?
2.         Bagaimana prinsip dan konsepsi good governance?
3.         Apa saja prinsip-prinsip good governance pada sektor pemerintah?
4.         Apa saja prinsip-prinsip good governance pada sektor swasta?
5.         Bagaimana cara mengembangkan struktur organisasi dan manajemen perubahan?
6.         Bagaimana hubungan antara good governance dengan otonomi daerah?

  BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Latar Belakang Good Governance
1.      Pengertian Good Governance
Dari segi administrasi pembangunan, good governance didefinisikan sebagai berikut:
An overall institutional framework within wich its citizens are allowed to interact and transact freely, at difference levels, to fulfil its political, economic and social apirations. Basically, good governance has three aspect:
(i)    The ability of citizens to express views and acces decision making freely;
(ii)  The capacity of the government agencies (both political and bureaucratic) to translate these views into realistic plans and to implement them cost effectively; and
(iii) The ability of citizens and institutions to compare what has been asked for with what has been planned, and to compare what has been planned with what has been implemented".
Sedangkan dari segi teori pembangunan, good governance diartikan sebagai berikut:
" ........ a plitical and bureaucratic framework wich provides an enabling macra-economic environment for investment and growth, which pursues distributional and equity related policies; which makes entrepreneurial interventions when and where required and which practices honest and afficient management principles. A commited and imaginative political leadership accompanied by an efficient and accountable bureaucracy does seem to be the key to the establishment of good governance in a country."
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa good governance mensyaratkan adanya hubungan yang harmonis antara negara (state), masyarakat (civil siciety) dan pasar (market).
Jika mengacu pada World Bank dan UNDP, orientasi pembangunan sektor publik (public sector) adalah menciptakan good governance. Pengertian good governance adalah kepemerintahan yang baik, menurut UNDP (United Nation Develepment Program) dapat diartikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

2.      Latar Belakang Good Governance
Jika ditarik lebih jauh, lahirnya wacana good governance berakar dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada praktik pemerintahan, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyelenggaraan urusan publik yang bersifat sentralistis, non-partisipatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik, telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati kepada rezim pemerintahan yang ada. Masyarakat tidak puas dengan kinerja pemerintah yng selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik. Beragam kekecewaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan tersebut pada akhirnya melahirkan tuntutan untuk mengembalikan fungsi-fungsi pemerintahan yang ideal. Good governance tampil sebagai upaya untuk memuaskan dahaga publik atas kinerja birokrasi yang sesungguhnya.
B.     Prinsip dan Konsepsi Good Governance
1.      Prinsip Good Governance
Berdasarkan pengertian Good Governance oleh Mardiasmo dan Bank Dunia yang disebutkan diatas dan sejalan dengan tuntutan reformasi yang berkaitan dengan aparatur Negara termasuk daerah aadlah perlunya mewujudkan administrasi Negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas, dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan maka menuntut penggunaan konsep Good Governance sebagai kepemerintahan yang baik, relevan dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Ide dasarnya sebagaimana disebutkan Tingkilisan (2005:116) adalah bahwa Negara merupakan institusi yang legal formal dan konstitusional yang menyelenggarakan pemerintahan dengan fungsi sebagai regulator maupun sebagai Agent of Change.
Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa Good Governance awalnya digunakan dalam dunia usaha (corporate) dan adanya desakan untuk menyusun sebuah konsep dalam menciptakan pengendalian yang melekat pada korporasi dan manajemen professionalnya, maka ditetapkan Good Corporate Governance. Sehingga dikenal prinsip-prinsip utama dalam Governance korporat adalah: transparansi, akuntabilitas, fairness,responsibilitas, dan responsivitas. (Nugroho,2004:216)
Transparansi merupakan keterbukaan, yakni adanya sebuah system yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi internal dan eksternal dari korporasi. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban secara bertingkat keatas, dari organisasi manajemen paling bawah hingga dewan direksi, dan dari dewan direksi kepada dewan komisaris. Akuntabilitas secara luas diberikan oleh dewn komisaris kepada masyarakat. Sedangkan akuntabilitas secara sempit dapat diartikan secara financial. Fairness agak sulit diterjemahkan karena menyangkut keadilan dalam konteksmoral. Fairness lebih menyangkut moralitas dari organisasi bisnis dalam menjalankan hubungan bisnisnya, baik secara internal maupun eksternal.
Responsibilitas adalah pertanggungjawaban korporat secara kebijakan. Dalam konteks ini, penilaian pertanggungjawaban lebih mengacu kepada etika korporat, termasuk dalam hal etika professional dan etika manajerial. Sementara itu komite governansi korporat di Negara-negara maju menjabarkan prinsip governansi korporat menjadi lima kategori, yaitu: (1) hak pemegang saham, (2) perlakuan yang fair bagi semua pemegang saham, (3) peranan konstituen dalam governansi korporat, (4) pengungkapan dan transparansi dan (5) tanggungjawab komisaris dan direksi.
UNDP memberikan beberapa karekteristik pelaksanaan good governance, meliputi:
·      Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
·      Rule of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.
·      Tranparancy, transparansi dibangun atas dasar kebebbasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
·      Responsiveness, lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stake holders.
·      Concensus orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat luas
·      Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperleh kesejahteraan dan keadilian.
·      Efficiency dan effectiveness, pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
·      Accountbility, pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.
·      Strategic vision, penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat memiliki visi jauh ke depan.
C.    Karakteristik Dasar Good Governance
Ada tiga karakteristik dasar good governance :
1.   Diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Pluralisme bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya kreativitas yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta apabila manusia memiliki sikap inklusif dan kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan, identitas sejati atas parameter-parameter otentik agama tetap terjaga.
2.   Tingginya sikap toleransi, baik terhadap saudara sesame agama maupun terhadap umat agama lain. Secara sederhana, toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan agama tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama, namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan, dan saling menghormati.
3.   Tegaknya prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekedar kebebasan dan persaingan, demokrasi juga merupakan suatu pilihan untuk bersama-sama membangun dan memperjuangkan perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahtera.
Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan yang tinggi kepada Tuhan, hidup berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak, dan moral yang baik, mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, serta menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik, dan lembaga masyarakat.
D.    Penerapan Prinsip Good Governance pada Sektor Publik
Di dalam berbagai analisis dikemukakan, ada keterkaitan antara krisis ekonomi, krisis finansial dan krisis yang berkepanjangan di berbagai negara dengan lemahya corporate governance.
Corporate governance adalah seperangkat tata hubungan diantara manajemen, direksi, dewan komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya yang mengatur dan mengarahkan kegiatan perusahaan (OECD, 2004).
Good Corporate Governance (GCG) diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. Di tahun 2007 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan PT Multi Utama Indojasa melaksanakan kegiatan studi Implementasi Good Corporate Governance (GCG) di Sektor swasta, BUMN dan BUMD. Studi ini ditujukan untuk memperoleh gambaran awal (baseline) yang komprehensif tentang pelaksanaan prinsip-prinsip GCG di Sektor swasta, BUMN dan BUMD di Indonesia yang dari waktu ke waktu bisa digunakan sebagai data pembanding dengan kondisi di masa depan.
Studi dilakukan dengan 3 (tiga) metode, yaitu (1) penyebaran kuesioner kepada responden, (2) wawancara mendalam dengan pimpinan perusahaan yang menangani implementasi GCG, dan (3) penelusuran dokumen perusahaan. Perusahaan yang terlibat dalam studi ini adalah 66 perusahaan, yang terdiri dari 37 perusahaan swasta yang sudah go public, 17 perusahaan BUMN (12 diantaranya sudah go public), dan 12 perusahaan BUMD. Dari setiap perusahaan, diambil sekitar 27 responden, mulai dari Preskom hingga karyawan non-manajerial, serta pihak-pihak eksternal dari perusahaan seperti pelanggan, pemasok, perusahaan asuransi, auditor eksternal, investor institusi, lembaga pembiayaan dan perusahaan afiliasi.
Data dari kuesioner diolah dan dianalisis secara kuantitatif, sedangkan hasil wawancara mendalam dan penelusuran dokumen diolah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis implementasi GCG dilakukan dengan mengukur implementasi berdasarkan prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness, serta berdasarkan kerangka kerja GCG yaitu compliance, conformance, dan performance. Selain itu, secara khusus dilihat aspek code of conduct, pencegahan korupsi dan disclosure. Dari hasil studi diketahui bahwa secara umum implementasi GCG pada perusahaan-perusahaan yang menjadi responden sudah sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari Indeks GCG yang didapat, baik berdasarkan prinsip-prinsip GCG yang mencapai angka 88,89 maupun berdasarkan kerangka kerja implementasi GCG (compliance, conformance dan performance) yang mencapai 90,41. Demikian juga untuk aspek code of conduct, pencegahan korupsi, dan disclosure.
Hal ini berarti secara rata-rata, hampir 90% dari prinsip-prinsip GCG sudah dilaksanakan oleh perusahaan responden. Dari prinsip-prinsip GCG, ada satu prinsip yang relatif lemah yaitu responsibilitas. Lemahnya implementasi prinsip ini berkenaan dengan masih lemahnya implementasi dalam pembentukan komite-komite fungsional di bawah Komisaris. Sebagian perusahaan responden hanya memiliki Komite Audit, Komite Nominasi dan Remunerasi serta Komite Manajemen Resiko, sedangkan komite-komite lainnya seperti Komite Asuransi, Komite Kepatuhan, Komite Eksekutif, dan Komite GCG, masih banyak yang belum memilikinya. Adapun prinsip yang sudah relatif kuat adalah prinsip transparansi dan fairness.
Ini menunjukkan perusahaan telah berupaya untuk lebih transparan dan fair kepada stakeholder. Jika dilihat berdasarkan kerangka kerja GCG, aspek yang masih lemah adalah aspek compliance pada sisi Board dan conformance pada sisi Karyawan. Pada sisi Board, kelemahannya selain pada pembentukan komite-komite, juga pada implementasi pencegahan benturan kepentingan, dan peningkatan kerjasama dengan penegak hukum. Sedangkan pada sisi karyawan, berkaitan dengan penandatanganan pernyataan kepatuhan kepada Pedoman Perilaku dan Peraturan Perusahaan. Indeks code of conduct adalah 88,77. Artinya secara umum perusahaan telah memiliki code of conduct dan telah memuat beberapa hal yang berkaitan dengan implementasi prinsip-prinsip GCG. Namun yang masih perlu diperbaiki dalam code of conduct ini adalah sosialisasi kepada pihak eksternal seperti pelanggan, pemasok dan perusahaan asuransi.
Indeks pencegahan korupsi adalah 89,39, yang berarti sudah cukup baik. Namun beberapa hal yang perlu didorong adalah pengawasan terhadap pelaksanaan dari tindakan yang berpotensi terhadap terjadinya benturan kepentingan. Selain itu, masih belum adanya kerjasama antara perusahaan dengan lembaga penegak hukum dalam mengembangkan sistem pencegahan korupsi. Indeks untuk disclosure ini adalah 92,42. Aspek ini termasuk yang menonjol dan menjadi perhatian utama dari responden, terutama bagi perusahaan yang sudah go public. Aspek ini menjadi sangat diprioritaskan oleh perusahaan karena kinerja pada aspek ini dapat dinilai dan dirasakan oleh pihak luar. Untuk analisis, perusahaan responden dibagi dalam 4 (empat) kelompok, yaitu BUMN/BUMD Lembaga Keuangan, BUMN/BUMD Non Lembaga Keuangan, Swasta Lembaga Keuangan, dan Swasta Non Lembaga Keuangan.
Pembagian ini untuk memudahkan analisis serta agar perbandingan antar perusahaan dapat dilakukan lebih fair. Hasil studi menunjukkan bahwa swasta lembaga keuangan memiliki indeks yang paling tinggi dibanding kelompok yang lain, baik berdasarkan prinsip-prinsip GCG maupun berdasarkan compliance, conformance, dan performance. Selain itu, kelompok ini juga memiliki indeks yang paling tinggi untuk code of conduct dan pencegahan korupsi.
Namun untuk disclosure, indeks tertinggi diraih kelompok swasta non lembaga keuangan. Secara umum implementasi di perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, baik perusahaan swasta BUMN/BUMD lebih baik dibanding perusahaan non lembaga keuangan. Selain itu, implementasi di perusahaan yang swasta lebih baik dibanding BUMN/BUMD. Demikian pula, perusahaan yang sudah terbuka (go public) lebih baik dibanding perusahaan yang belum go public. Berdasarkan kerangka kerja GCG, aspek compliance cukup lemah pada kelompok perusahaan non lembaga keuangan. Hal ini dikarenakan oleh banyaknya perusahaan yang belum melengkapi komite-komite fungsionalnya. Selain itu, masih kurangnya tindakan komisaris terhadap (potensi) benturan kepentingan yang menyangkut dirinya. Sebaliknya, aspek-aspek tersebut sangat diperhatikan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, sehingga lembaga keuangan lebih patuh dibanding perusahaan non lembaga keuangan. Sebagai rekomendasi, untuk meningkatkan kualitas implementasi GCG, perusahaan-perusahaan perlu didorong untuk lebih patuh dalam membentuk berbagai komite fungsional yang diperlukan dalam penerapan GCG. Lembaga-lembaga yang berfungsi mengawasi dan membina seperti Bank Indonesia, Menneg BUMN dan Bapepam LK agar lebih proaktif dalam mengawasi implementasi GCG terutama berkaitan dengan potensi terjadinya benturan kepentingan.
Selain itu, perlu diterbitkan peraturan yang dapat memaksa perusahaan sawsta yang belum terbuka dan BUMD untuk menerapkan GCG. Implementasi Good Goverment dan Clean Goverment pada institusi pemerintah terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik seperti Ditjen Pajak, Bea Cukai, Imigrasi, BPN, Institusi yang mengeluarkan perizinan, dan institusi penegak hukum. Hal ini untuk mendorong badan usaha lebih konsisten dalam menerapkan GCG serta untuk menciptakan iklam usaha yang lebih sehat, kondusif dan kompetitif. Dalam rangka meningkatkan kerjasama perusahaan dengan lembaga penegak hukum dalam upaya pencegahan korupsi, diperlukan rumusan bentuk dan metode kerjasama yang dapat dilakukan dan mendorong perusahaan untuk melakukan kerjasama dengan lembaga penegak hukum.
Perlu adanya sosialisasi yang intensif tentang pedoman umum GCG, penyusunan code of conduct, kaitan GCG dengan pencegahan korupsi, dan best practises dalam penerapan GCG melalui berbagai media.
E.   Struktur Organisasi dan Manajemen Perubahan dalam Good Governance
Menurut Lukman Hakim Saifuddin, (2004) good governance (G) di Indonesia adalah penyelenggaraan peerintahan yang baik yang dapat diartikan sebagai suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dengan substansi dan implementasi yang diarahkan untuk mencapai pembangunan yang efisien dan efektif secara adil. Oleh karena itu, good governance akan tercipta di antara unsur-unsur negara dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers, lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dan lain-lain) memiliki keseimbangan dalam proses checks and balances dan tidak boleh satu pun di antara mereka yang memiliki kontrol absolute.
Pengembangan publil good governance di Indonesia akan menunjuk pada sekumpulan nilai (cluster of values), yang notabane sudah lama hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia. Sekumpulan nilai yang dimaksud tersebut adalah 11 (sebelas) nilai good governance yakni (1) check and balances, (2) decentralization; (3) effectiveness; (4) efficiency, (5) equity, (6) human rights protection, (7) integrity, (8) participation, (9) pluralism, (10) predictability, (11) rule of law, dan (12) transparency.
Pertanyaan yang muncul kemudian dalam implementasinya adalah bagaimana mendekati, mengidentifikasi, mengurai, dan mengupayakan pemecahan persoalan penegakan good governance. Menurut Lukman Hakim, ada tiga faktor determinan pencapaian good governance, yakni lembaga atau pranata (institutions/system), sumber daya manusia (human factor), dan budaya (cultures).
Terkait dengan tiga faktor determinan tersebut, pada subbab ini akan dibahas tentang lembaga atau pranata, budaya dan sumber daya manusia dalam dua bagian, yaitu struktur organisasi dalam good governance dan manajemen perubahan yang diperlukan oleh organisasi.
1.      Struktur Organisasi dalam Good Governance
Globalisasi dan perkambangan informasi akan mempercepat perubahan organisasi. Menurut Tulis (2000), perubahan terhadap sumber daya manusia sebesar 10 persen saja dapat mengubah struktur organisasi, selain perubahan ang disebabkan faktor teknologi, ekonomi, politik, dan sosial. Praktik manajemen yang lama baik menyangkut struktur organisasi, personel, dan tugas pokok, akan menyebabkan resistensi terhadap perubahan dan menyebabkan sulitnya melakukan restrukturisasi organisasi dalam rangka mencapai efisiensi. Dalam rangka menghadapi perubahan yang begitu cepat, maka beberapa hal yang penting dilakukan adalah :
a.    Memelihara kesadaran yang tinggi akan urgensi
Perubahan besar dalam organisasi, baik struktur dan budaya tidak akan pernah sukses bila organisasi tersebut cepat puas. Kesadaran tinggi akan tingkat urgensi yaitu memahami hak yang mendesak dan menempatkannya sebagai prioritas dalam menghadapinya, sangat membantu proses mengatasi masalah dan langkah perubahan yang besar. Peningkatan fungsi organisasi akan menyebabkan tingginya tingkat organisasi. Untuk memelihara urgensi tingkat tinggi maka diperlukan sistem informasi manajemen yang menyangkut sistem informasi akuntansi, untuk keuangan, sistem informasi sumber daya manusia (SDM) untuk mengukur kinerja SDM, dan sistem informasi lain yang diperlukan oleh organisasi. Sistem informasi ini akan menjamin kecermatan dan kejelian data, sehingga data yang digunakan untuk pengambilan keputusan yang valid.
b.    Penyusunan pranata organisasi
Misi dan tujuan setiap organisasi sektor publik adalah memuaskan para pihak yang berkepentingan dengan pelayanan publik serta melestarikan tingkat kepuasan masyarakat. Tanangan untuk mencapai kepuasan adalah melalui mutu pelayanan yang prima atas pelayanan dan kepercayaan publik. Permasalahan dalam peningkatan mutu ini pada birokrasi terkendala dengan sumber informasi yang terbatas, tingkat pengetahuan aparat yang tidak memadai, budaya birokrasi, dan pengambilan keputusan yang tidak efektif karena delegasi wewenang yang tidak optimal serta tidak adanya insentif dan berkorelasi dengan sistem penggajian.
Permasalahan dalam penyusunan pranata organisasi adalah masalah keagenan, yaitu kebijaksanaan yang salah dan berjalan terus-menrus, program yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta pekerjaan yang tidak berkonstruksi terhadap pencapaian tujuan organisasi. Singkatnya, tantangan utama dalam mendesain dan pengembangan pranata organisasi pemerintah dan sistem nasional adalah mengoptimalkan informasi pengambilan keputusan serta menciptakan sistem penggajian yang sepadan dengan kinerja. Perbaikan sistem informasi dan sistem penggajian berbasis kinerja ini akan meningkatkan mutu layanan dan kepercayaan publik.
c.    Perubahan Struktur Organisasi
Perubahan kondisi pasar, teknologi, sistem sosial, regulasi, dan pelaksanaan Good Governance dapat memengaruhi struktur pengembangan organisasi. Untuk perubahan struktur organisasi perlu dilakukan analisis biaya dan manfaat terhadap pengaruh pelayanan public terhadap organisasi melalui perubahan yang bersifat strategis.
Perubahan struktur organisasi mencakup tiga unsur sebagai determinan, yaitu: (a) sistem pendapatan wewenang, tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab, (b) sistem balas jasa yang sepadan, dan (c) sistem evaluasi indikator atau pengukuran kinerja untuk individu dan unit organisasi.
Masalah utama dalam perubahan struktur organisasi adalah meyakinkan diri bahwa pengambilan keputusan dan akuntabilitas semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi mempunyai informasi dan pengetahuan yang relevan mengambil keputusan yang baik dan benar serta adanya insentif sepadan yang menggunakan informasi secara produktif dan terpercaya. Perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perubahan  struktur organisasi, biaya, dan manfaat langsung maupun tidak langsung harus dianalisis secara cermat dan hati-hati.
Perubahan struktur organisasi sebelum GG dan sesudah GG
Sebelum GG
Sesudah GG
Struktur bersifat :
1.  Birokratik,
2.  Multilevel
3.  Disorganisasi dengan manajemen
4.  Kebijakan, program, dan prosedur ruwet
Struktur bersifat :
1.  Nonbirokratik, sedikit aturan
2.  Lebih sedikit level
3.  Manajemen berfungsi baik
4.  Kebijakan, program dan prosedur sederhana, tidak menimbulkan ketergantungan
Sistem :
1.  Tergantung pada beberapa sistem informasi kinerja
2.  Distribusi informasi terbatas pada eksekutif
3.  Pelatihan manajemen hanya pada karyawan senior
Sistem :
1.  Tergantung pada sistem informasi kinerja
2.  Distribusi informasi luas,
3.  Memberikan pelatihan kepada karyawan yang membutuhkan
Budaya Organisasi :
1.  Orientasi ke dalam
2.  Tersentralisasi
3.  Lambat dalam pengambilan keputusan
4.  Realistis-idiologi
5.  Kurang berani mengambil keputusan
Budaya Organisasi :
1.  Orientasi ke luar
2.  Memberdayakan sumber daya
3.  Pengambilan keputusan cepat
4.  Terbuka dan berintegrasi
5.  Berani mengambil risiko

Dalam rangka pelaksanaan GG, makia organisasi modern dapat melakukan :
1.    Kesadaran yang tinggi terhadap tingkat urgensi
2.    Kerja sama tim yang baik dalam tatanan staf dan manajemen
3.    Bisa menciptakan dan mengomunikasikan visi, misi, dan program dengan baik
4.    Pemberdayaan semua karyawan dengan memerhatikan minat dan bakat
5.    Memberikan delegasi wewenang dengan efektif
6.    Mengurangi ketergantungan yang tidak perlu, dan
7.    Mengembangkan budaya organisasi yang adaptif dan penggunaan analisis kinerja
2.      Manajemen Perubahan
Sesuai dengan pertimbangan TAP MPR RI Nomor II/MPR/1999, masalah krisis multidimensi yang melanda negara Indonesia merupakan penghambat perwujudan cita-cita dan tujuan nasional. Reformasi di segala bidang, diharapkan dapat menjadi suatu langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan dan pengembangan pembangunan serta penguatan kepercayaan diri
Kemampuan para pemimpin penyelenggara pemerintahan dan masyarakat yang mengelola perubahan menjadi sangat krisis dan strategis, terutama sensitifitas dan responsibilitas terhadap tanda dan waktu perubahan tersebut diperlukan, khususnya dalam langkah penyelamatan, pemulihan, dan pengembangan. Ada dua hal yang perlu ditekankan dalam manajemen perubahan, yaitu mengapa ada perubahan yang berhasil dan ada yang gagal?
Perubahan yang gagal disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a.    Terlalu cepat puas
b.    Team work yang gagal
c.    Merumuskan visi, misi, dan program dengan kurang tepat
d.    Gagal menciptakan harapan sukses kepada seluruh anggota organisasi
e.    Menganggap perubahan sudah selesai dan hanya sekali memerlukan perubahan, dan
f.     Tidak bisa mengubah symbol, nilai, sikap dan norma organisasi dari yang lama menjadi budaya yang baru dalam organisasi.
Untuk mengurangi kegagalan dalam perubahan budaya organisasi, maka harus dihilangkan atau dikurangi dampak negatif dari perubahan seperti bubarnya organisasi, kehilangan pasar dan kepuasaan pelanggan, penurunan gaji dan harus dikikis dengan menjelaskan mengapa organisasi perlu mengadakan perubahan, bagaimana tahap perubahan, bagaimana hasil akhir dari perubahan, dan bagaimana peran serta dari setiap anggota organisasi dalam perubahan. Untuk mencapai keberhasilan dalam perubahan, ada beberapa hal yang diperlukan, yaitu :
1.    Menetapkan strategi, pentingnya, dan tahapan perubahan
2.    Mengembangkan semangat kerja sama tim yang tinggi
3.    Mengembangkan strategi komunikasi untuk menyampaikan visi, misi, program perubahan, sehingga anggota dapat termotivasi, dan
4.    Memberdayakan setiap anggota organisasi sesuai dengan kompetensi minat, dan bakat.
F.     Good Governance dalam Kerangka Otonomi Daerah
Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan Pemerintah unluk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan penyimpangan.
Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung dari bersinergi satu sarna lainnya, yaitu :
1. Urusan Pemerintahan;
2. Kelembagaan;
3 Personil;
4. Keuangan;
5. Perwakilan;
6. Pelayanan Publik dari
7. Pengawasan.
Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dari dikembangkan serta direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 Tahun 2004. Namun disamping penataan terhadap tujuan elemen dasar diatas, terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata dalam rangka penataan otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan yaitu penataan Otonomi Khusus NAD
dari Papua, penataan daerah dari wilayah perbatasan , serta pemberdayaan masyarakat.
Setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan langkah-langkah menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang ada saat ini.
Meskipun dalam pencapaian Good Governance rakyat sangat berperan, dalam pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari kesenjangan didalam masyarakat pemerinah mempunyai peran yang sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU no 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan kepala daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun 1999). Peraturan daerah pun telah masuk dalam Tata urutan peraturan perundang - undangan nasional (UU no 10 tahun 2004), Pengawasan oleh masyarakat.
Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam penyelenggaran pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2), yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban Kepala Daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan yang dapat diperoleh yakni, akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD seringkali tidak berdasarkan pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak mempunyai
dampak politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka stabilitas penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih terjaga.
Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi dengan cara: Pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan atau instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang. Pasal tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat dalam menjalankan pengawasan.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian–uraian dari bab–bab sebelumnya maka penulis mengambil kesimpulan yaitu:
1.      Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat atau rancanggan undang-undang yang di rumuskan, melainkan suatu sikap yang pasti dalam menangani suatu permasalahn tanpa memandang siapa serta mengapa hal tersebut harus di lakukan.
2.      Good Governance merupakan pengertian dalam hal yang luas sehingga untuk memberikan arti serta defenisi tidak semudah mengartikan kata perkata melainkan perlunya aspek –aspek serta pemikiran yang luas menyangkut bidang tersebut.
3.      Perlunya pengertian menggenai aspek-aspek dalam Good Governance sehingga tidak ada kesalahan dalam aplikasinya.
4.      Penerapan Good Governance dalam sistem kepemerintahan saat ini sangat di perlukan karena peranan perintah dalam memajukan suatu negara sangatlah besar.
B.     Saran
Atas kesimpulan di atas, penulis mengemukakan beberapa saran untuk membenahi kelemahan-kelemahan dalam penegakkan prinsip good governance di Indonesia yaitu:
1.      Integritas dan nilai etika perlu ditingkatkan atau dikomunikasikan dengan perilaku yang terbaik dan melibatkan pihak terkait. Karena sebaik apapun desain sebuah pengawasan tidak akan terlaksana dengan efektif, efisien dan ekonomis jika dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki integritas dan nilai etika yang rendah.
2.      Kinerja Inspektorat atau pengendalian intern perlu terus ditingkatkan meskipun penulis mengusulkan sektor publik, namun itu bukan berarti mengabaikan sektor pengawasan intern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar