KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum . . .
Puji syukur kami
ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemampuan berfikir,
kejernihan akal, ketangkasan menganalisa yang di anugrahkan kepada setiap
manusia sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “ NIKAH MUT’AH ”. Kami berharap makalah
ini bisa menjadi sumber referensi bagi para pembaca terkait hal Hak dan
Kewajiban Suami Istri. Isi makalah kami dapatkan dari berbagai sumber seperti
e-book dan internet yang tentunya acuan tetap pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Kritik dan saran
selalu kami terima untuk berbagai perbaikan demi makalah-makalah yang lebih
baik dan agar makalah ini tidak menyampaikan yang salah. Kami mohon maaf atas
segala kesalahan dan kekuranagan. Wassalam.
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR
................................................................. i
DAFTAR
ISI
................................................................. ii
BAB
I : PENDAHULUAN
.................................................................
1
BAB
II : ISI
A.
Definisi nikah
mut’ah .................................................................. 3
B.
Hukum nikah
mut’ah di mata islam ................................................................... 7
C.
Pro dan kontra
nikah mut’ah .................................................................
13
BAB III. KESIMPULAN
.................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA
................................................................. 18
DEFINISI NIKAH MUT’AH
Yang dimaksud nikah mut’ah adalah, seseorang menikah
dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian
kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah
selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa
warisan.
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang
wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan
mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang.
Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada
mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan
dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita
monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi
yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.
Jadi, rukun nikah mut’ah -menurut Syiah Imamiah- ada
empat :
1. Shighat, seperti ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan engkau”.
2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
4. Jangka waktu tertentu.
1. Shighat, seperti ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan engkau”.
2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
4. Jangka waktu tertentu.
NIKAH MUT’AH PADA MASA PENSYARIATAN, ANTARA BOLEH DAN
LARANGAN
Nikah mut’ah, pada awal Islam -saat kondisi darurat-
diperbolehkan, kemudian datang nash-nash yang melarang hingga hari Kiamat.
Di antara hadits yang menyebutkan dibolehkannya nikah
mut’ah pada awal Islam ialah :
عَن
الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ
الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ :
ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ
لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ,
فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ
سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا
آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً ” .
Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
beliau bersabda: “Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan
kalian melakukan mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu
pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah
diberikan”.
وَ عَنْهُ
قَالَ :
أَََمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ
حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا
Dari beliau, juga berkata : “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mut’ah pada masa penaklukan kota
Mekkah, ketika kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya atas kami”.
عَنْ
سَلَمَةَ بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطاَس فِي اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ
ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
Dari Salamah bin Akwa`Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam
mut’ah selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang
Hunain), kemudian beliau melarang kami”.
Muncul pertanyaan, semenjak kapan
Islam melarang mut’ah? Untuk menjawabnya, kita dapatkan riwayat-riwayat yang
menerangkan masalah ini terkesan simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu
pengharaman mut’ah berbeda-beda.
Dibawah ini akan disebutkan secara ringkas waktu
pengharaman mut’ah, sesuai dengan urutan waktunya.
1. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa larangan mut’ah
dimulai ketika perang Khaibar (Muharram 7H).
2. Ada riwayat yang mengatakakan pada umrah qadha (Dzul Qa`dah 7H).
3. Ada riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah (Ramadhan 8H).
4. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Awthas, dikenal juga dengan perang Hunain (Syawal 8H).
5. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9H).
6. Ada riwayat yang mengatakan pada Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
7. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa yang melarangnya secara mutlak adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu.
2. Ada riwayat yang mengatakakan pada umrah qadha (Dzul Qa`dah 7H).
3. Ada riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah (Ramadhan 8H).
4. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Awthas, dikenal juga dengan perang Hunain (Syawal 8H).
5. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9H).
6. Ada riwayat yang mengatakan pada Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
7. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa yang melarangnya secara mutlak adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu.
Dari riwayat diatas dapat dijelaskan dari
maasing-masing riwayat.
• Riwayat yang menyatakan, bahwa larangan mut’ah
dimulai pada umrah qadha, perang Tabuk dan Haji Wada tidak lepas dari kritikan, dan tidak dapat
dijadikan pegangan.
Tinggallah tiga riwayat yang shahih, yang menerangkan
pengharaman mut’ah. Yaitu saat perang Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, perang
Awthas. Riwayat-riwayat tersebut sebagai berikut :
Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada masa perang
Khaibar :
عَنْ
مُحّمَّد بنِ عَلي أََنَّ عَليِاًّ رضى الله عنه قاَلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله
عنهما :
إِنَّ النَِّي صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُتْعَة
ِوَ عِنْ لُحُوْمِ الْأَهْليِة ِزَمَنَ خَيْبَرَ
Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan
Muhammad bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu
Abbas Radhiyalahu ‘anhuma : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang mut’ah dan daging keledai pada masa Khaibar”.
Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada penaklukan kota
Mekkah, yaitu riwayat dari Rabi’ bin Sabrah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ayahnya
berperang bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada penaklukkan kota
Mekkah. Kami tinggal lima belas hari. Kemudian, oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kami diperbolehkan untuk mut’ah. Akupun keluar bersama
seseorang dari kabilahku. (Kebetulan) aku mempunyai sedikit ketampanan,
sedangkan kerabatku tersebut lebih mendekati jelek. Setiap kami membawa sal,
salku jelek, sedangkan sal anak pamanku tersebut baru dan mengkilap. Ketika
kami sampai di kaki Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis
perawan, panjang lehernya semampai. Kami berkata,”Apakah engkau mau bermut’ah
dengan salah seorang dari kami?” Dia berkata,”Dengan apa kalian bayar?” Maka setiap
kami membentangkan salnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan sahabatku itu
melihat ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya sal dia jelek, sedangkan salku
baru, mengkilap”. Dia berucap,”Salnya tidak apa-apa,” dua kali atau tiga. Lalu
aku melakukan mut’ah dengannya. Belum usai aku keluar dari Mekkah, kiranya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya.
Sedangkan riwayat yang mengharamkan nikah mut’ah pada
saat perang Awthas, yaitu hadits Salamah bin al Akwa`.
• Mengkombinasikan antara riwayat-riwayat di atas,
para ulama menggunakan dua metode.
Pertama : Metode tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat).
Sebagian para ulama mengatakan, bahwa lafadz hadits
Ali, yaitu riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan
diakhirkan, karena beliau berucap kepada Ibnu ‘Abbas jauh setelah kejadian.
Seharusnya ucapan beliau, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang mut’ah”. Dengan demikian,
larangan mut’ah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu Khaibar.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Para ulama
berselisih, apakah mut’ah dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan
yang shahih, larangan hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan
pelarangan waktu Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata
kepada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang mut’ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk
memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu ‘Abbas.
Maka para rawi menyangka, bahwa ikatan hari Khaibar kembali kepada dua hal itu,
lalu mereka meriwayatkan dengan makna”.
Sedangkan riwayat pengharaman mut’ah pada perang
Awthas atau Hunain, yaitu hadits Salamah bin Akwa`. Berhubung perang Awthas dan
tahun penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama menjadikannya
satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah.
Kedua : Metode jamak (menggabungkan antara riwayat-riwayat).
Melihat pada semua riwayat yang shahih tentang
pengharaman nikah mut’ah, bahwa telah berlaku pembolehan kemudian pelarangan
beberapa kali. Diperbolehkan sebelum Khaibar, lalu diharamkan, kemudian
diperbolehkan tiga hari penaklukan Mekkah, kemudian diharamkan hingga hari
Kiamat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Tidak ada keraguan
lagi, mut’ah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat,
bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian
dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman
berlaku terjadi beberapa kali.”
Al Qurthubi berkata, “Telah berkata
Ibnul ‘Arabi, ‘Adapun mut’ah, maka ia termasuk salah satu keunikan syari’ah;
karena mut’ah diperbolehkan pada awal Islam kemudian diharamkan pada perang
Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah
itu, dan berlangsung pengharaman. Dan mut’ah -dalam hal ini- tidak ada yang
menyerupainya, kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi
dua kali, kemudian baru hukumnya stabil’
HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH MUT’AH
Nikah mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil
Kitab, Sunnah dan Ijma’, dan secara akal.
• Dari al Qur`an :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ
حَافِظُونَ –
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ – فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang
dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [al Maarij :
29-31]
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan, sebab disahkan
berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan.
Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak.
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ
طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
بِإِيمَانِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ
وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا
مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ
فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ
خَشِيَ الْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang
tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia
boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena
itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka
menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan
pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka
mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari
hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu,
adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari
perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah
mut’ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi
orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar
untuk tidak menikah. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut’ah,
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “karena itu kawinilah mereka dengan
seizin tuan mereka”. Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau
wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua
orang saksi. Adapun nikah mut’ah, tidak mensyariatkan demikian.
• Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang
telah disebutkan di atas merupakan dalil haramnya mut’ah.
• Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah
menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut’ah.
Di antara pernyataan tersebut ialah :
- Perkataan Ibnul ‘Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka.
- Imam Thahawi berkata,”Umar telah melarang mut’ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.
- Qadhi Iyadh berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi’ah, Pen)”.
- Dan juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut'ah nyaris menjadi sebuah Ijma' (maksudnya Ijma' kaum Muslmin, Pen.), kecuali dari sebagian Syi'ah”.
• Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai berikut :
- Sesungguhnya nikah mut’ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan, maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
- ‘Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat ‘Umar tersebut salah.
- Haramnya nikah mut’ah, dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya
a. Bercampurnya nasab, karena
wanita yang telah dimut’ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan
begitu seterusnya.
b. Disia-siakannya anak hasil mut’ah
tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
c. Wanita dijadikan seperti barang
murahan, pindah dari tangan ke tangan yang lain, dan sebagainya.
Hukum Nikah Mut’ah Tidak Pernah Dimansukhkan
Para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut
setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap
disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada
sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.
Dan seperti telah Anda baca sebelumnya bahwa nikah mut’ah
pernah disyari’atkan Islam; Alqur’an turun untuk membenarkan praktik nikah
tersebut, Nabi saw. mengizinkan para sahabat beliau melakukannya, dan beliau
juga memerintahkan juru penyampai untuk mengumandangkan dibelohkannya praktik
nikah mut’ah. Jadi atas yang mengaku bahwa hukum nikah mut’ah yang telah
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya itu sekarang dilarang, maka ia harus mengajukan
bukti.
Sementara itu, seperti akan Anda saksikan nanti, bahwa klaim
adanya pengguguran (pe-mansuk-han) hukum tersebut adalah tidak berdasar dan
tidak benar, ayat-ayat Alqur’an yang kata mereka sebagai pemansukh ayat mut’ah
tidak tepat sasaran dan hanya sekedar salah tafsir dari mereka, sedangkan
hadis-hadis yang mereka ajukan sebagai bukti adanya larangan juga centang
perentang, saling kontradiksi, di samping banyak darinya yang tidak sahih. Di
bawah ini akan saya sebutkan beberapa hadis yang tegas-tegas mengatakan bahwa
nikah mut’ah adalah halal dan tidak pernah ada hukum Allah SWT yang
mengharamannya.
Riwayat Pengharaman Nikah Mut’ah
Setelah kita simak sekelumit hadist yang menerangkan tetap
berlakunya hukum kehalalan nikah mut’ah, maka sekarang kita akan mencoba
menyajikan beberapa hadis terkuat yang dijadikan hujjah oleh mereka yang
meyaniki bahwa hukum halalnya nikah mut’ah telah dimansukhkan.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa kasus pengharaman nikah
mut’ah -dalam pandangan yang mengharamnkan- adalah terbilang kasus aneh yang
tidak pernah dialami oleh satu hukum Islam lainnya, yaitu dihalalkan kemudian
diharamkan, kemudian dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi. Dan sebagiannya
hanya berlangsung beberapa hari saja.
Imam Muslim dalam kitab Shahihnya menulis sebuah judul, “Bab
Nikah-ul Mut’ah wa Bayaanu ‘Annahu Ubiiha Tsumma Nusikha Tsumma Ubiiha Tsumma
Nusikha wa istaqarra Tahriimuhu Ila yaumil Qiyamah (Bab tentang Nikah mut’ah
dan keterangan bahwa ia dibolehkan kemudian dimansukkan kemudian dibolehkan
kemudian di mansukhkan dan tetaplahharam.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan kemudian dibolehkan kemudian dimansukhkan, dua kali.”
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan kemudian dibolehkan kemudian dimansukhkan, dua kali.”
Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan:
“Masalah kesepuluh: para ulama berselisih pendapat berapa
kali ia dibolehkan dan mansukhkan… ia mengatakan bahwa mut’ah pada awalnya
dilarang kemudian dibolehkan kemudian Nabi melarang pada perang Khaibar
kemudian mengizinkan lagi pada fathu Makkah kemudian mengharamkannya setelah
tiga hari berlaku dan ia haram hingga hari kiamat. Ibnu al-Arabi berkata:
“Adapun nikah mut’ah ia termasuk hukum syari’at yang aneh sebab ia dibolehkan
pada awal masa Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar kemudian
dibolehkan pada perang Awthas kemudian di haramkan setelah itu dan tetaplah
pengharaman, dan tidak ada yang menyamainya kecuali masalah kiblat… ulama lain
yang telah merangkum hadis-hadis masalah ini mengatakan ia meniscayakan adanya
penghalalan dan pengharaman sebanyak tujuh kali…”.
Kemudian ia menyebutkan tujuh peristiwa dan kesempatan
penghalalan dan pengharaman nikah mut’ah tersebut yang terbilang aneh yang
tetuntunya mengundang kecurigaan akan kebenarnnya itu. Sebab kesimpulan ini
diambil sebenarnya karena mereka menerima sekelompok hadis yang mengharamkan nikah
tersebut, sementara hadis-hadis itu tidak sepakat dalam menyebutkan waktu
ditetapkannya pengharaman, akaibatnya harus dikatakan bahwa ia terjadi bebarapa
kali. Hadis-hadis tentangnya dapat kita kelompokkan dalam dua klasifikasi
global,
pertama, hadis-hadis yang dipandang lemah dan cacat baik
sanad maupun matannya oleh para pakar dan ulama Ahlusunnah sendiri. Hadis-hadis
kelompok ini tidak akan saya sebutkan dalam kajian kali ini, sebab pencacatan
para pakar itu sudah cukup dan tidak perlu lagi tambahan apapun dari saya, dan
sekaligus sebagai penghematan ruang dan pikiran.
Kedua, hadis-hadis yang disahihkan oleh para ulama Ahlusunnah, namun pada dasarnya ia tidak sahih, ia lemah bahkan sangat kuat kemungkinan ia diproduksi belakangan oleh para sukarelawan demi mencari “keridhaan Allah SWT”, Dan untuk membuktikan hal ini perlu dilakukan uji kualitas kesahihan hadis sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirancang para pakar dan ulama.
Kedua, hadis-hadis yang disahihkan oleh para ulama Ahlusunnah, namun pada dasarnya ia tidak sahih, ia lemah bahkan sangat kuat kemungkinan ia diproduksi belakangan oleh para sukarelawan demi mencari “keridhaan Allah SWT”, Dan untuk membuktikan hal ini perlu dilakukan uji kualitas kesahihan hadis sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirancang para pakar dan ulama.
Hadis Pertama:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Nasa’i, al-Baihaqi dan
Mushannaf Abdir Razzaq, (dan teks yang saya sebutkan dari Mushannaf) dari Ibnu
Syihab al-Zuhri, dari Abdullah dan Hasan keduanya putra Muhammad ibn Ali
(Hanafiyah) dari ayah mereka, bahwa ia mendengar Ali berkata kepada Ibnu Abbas,
“Sesungguhnya kamu benar-benar seorang yang taaih (bingung dan menyimpang dari
jalan mustaqiim), sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarangnya (nikah mut’ah)
pada hari peperangan Khaibar dan juga mengharamkan daging keledai jinak.”
Hadis di atas dengan sanad yang sama dan sedikit perbedaan
dalam redaksinya dapat Anda jumpai dalam Shahih Bukhari, Sunan Abu Daud, Ibnu
Majah, al-Turmudzi, al-Darimi, Muwaththa’ Imam Malik, Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah, Musnad Ahmad dan al-Thayalisi dll.
Hadis kedua:
Para muhaddis meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghiffari ra. bahwa ia berkata:
“Sesungguhnya nikah mut’ah itu hanya dihalalkan khusus untuk
kami para sahabat Rasulullah saw. untuk jangka waktu tiga hari saja kemudian
setelahnya Rasulullah saw. melarangnya.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Itu
dibolehkan karena rasa takut kita dan karena kita sedang berperang.”
Hadis Ketiga:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Darimi, Ibnu Majah, Abu Daud,
dan lainnya (redaksi yang saya sebutkan in dari Muslim) dari Saburah al-Juhani,
sesungguhnya ia berperang bersama Rasulullah saw. menaklukkan kota Mekkah. Ia
berkata,
“Kami tinggal selama lima belas hari (tiga puluh malam dan
siang), maka Rasulullah saw. mengizinkan kami menikahi wanita dengan nikah
mut’ah. Lalu saya dan seseorang dari kaumku keluar, dan aku memiliki kelebihan
ketampanan di banding dia, ia sedikit jelek, masing-masing kami membawa
selimut, selimutku agak jelek adapun selimut miliknya baru, sampailah kami
dibawah lembah Mekkah atau di atasnya, kami berjumpa dengan seorang wanita
tinggi semanpai dan lincah, kami berkata kepadanya, “Apakah Anda sudi menikah
mut’ah dengan salah seeoarng dari kami?” wanita itu bertanya, “Apa yang akan
kalian berikan sebagai mahar?”. Maka masing-masing dari kami membeberkan
selimutnya, wanita itu memperhatikan kami, dan ia melihat bahwa temanku
memperhatikan dirinya dari kaki hingga ujung kepala, temanku berkata, “Selimut
orang ini jelek sedangkan selimutku baru”. Kemudian wanita itu megatakan,
“Selimut orang itu lumayan. Ia ucapkan dua atau tiga kali. Kemudian saya
menikahinya dengan nikah mut’ah, dan aku belum menyelesaikan jangka waktuku
melainkan Rasululah saw. telah mengharamkannya.
Dalam riwayat lain: Rasulullah saw. bersabda, “Hai manusia!
Sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian bermut’ah dan sesungguhnya Allah
telah mengharamkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar